Oleh:Hadiran Halawa, S.Th
“Namun aku
hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus
yang hidup di dalam aku. Dan
hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam
Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20).
Sekitar dua tahun yang lalu, saat memulai pelayanan misi di
Canada dan America bersama dengan team beranggotakan 9 orang (7 orang dari
Indonesia dan 2 orang dari Korea). Dr. Rober M. Bland yang adalah direktur Teen
mission International, sebuah lembaga misi besar, dimana kami bernaung, pernah
mengatakan suatu kalimat pendek kepada kami bahkan beliau menyuruh setiap kami
untuk menuliskannya dilembaran halaman Alkitab paling depan, yang sampai pada
saat ini tulisan itu masih terpampang di Alkitab saya.
Kalimatnya seperti ini “There is a God, and It isn’t me”, pada saat itu saya tidak terlalu mengerti dan paham, apa maksud dari kalimat itu. Dalam pemikiran saya, sadar bahwa kalimat pendek itu pasti punya arti dan makna yang sangat dalam, apa lagi orang yang menyampaikannya adalah seorang Direktur dari organisasi misi besar yang sudah mendunia dan juga sudah puluhan tahun berkecipung dalam dunia pelayanan. Melayani dalam bidang misi, sudah melakukan banyak perjalanan misi ke berbagai negara, dibelahan dunia ini. Satu pemikiran lagi bahwa dengan menyuruh menulis kalimat itu dilembaran halam terdapan Alkitab, pasti ada sesuatu hal yang sangat penting dibalik kalimat yang pendek dan kelihatan sederhana itu.
Kalimatnya seperti ini “There is a God, and It isn’t me”, pada saat itu saya tidak terlalu mengerti dan paham, apa maksud dari kalimat itu. Dalam pemikiran saya, sadar bahwa kalimat pendek itu pasti punya arti dan makna yang sangat dalam, apa lagi orang yang menyampaikannya adalah seorang Direktur dari organisasi misi besar yang sudah mendunia dan juga sudah puluhan tahun berkecipung dalam dunia pelayanan. Melayani dalam bidang misi, sudah melakukan banyak perjalanan misi ke berbagai negara, dibelahan dunia ini. Satu pemikiran lagi bahwa dengan menyuruh menulis kalimat itu dilembaran halam terdapan Alkitab, pasti ada sesuatu hal yang sangat penting dibalik kalimat yang pendek dan kelihatan sederhana itu.
Selama kurang lebih setahun pelayanan keliling bersama dengan
team, makna yang terkandung dalam kalimat itu masih belum juga begitu saya
pahami. Baru kemudian saya benar-benar mengerti dan disadarkan akan makna dibalik dari kalimat pendek itu, yaitu tepatnya
pada hari ini di saat sedang menyanyikan sebuah lagu pujian bersama dengan
mahasiswa/i STT. BMW Tangerang sebelum
memulai proses belajar. Kira-kira potongan liryc lagu itu demikian “Ku sembah
Engkau Yesus, hanya Engkau Allah dihidupku, tiada yang lain hanya Engkau, hanya
Engkau Tuhan, S’lamanya Kau tetap Allah walau dunia semua bergoncang, Tak
tergoyahkan Kau tetap Allah”, Potongan liryc dari lagu ini begitu menyentuh
hatiku dan tiba-tiba saya menaruh perhatian penuh khususnya pada kalimat “S’lamanya
Kau tetap Allah walau dunia semua bergoncang, tak tergoyahkan Kau tetap Allah”.
Sepertinya ada sesuatu hal yang luar biasa, yang terkandung dibalik dari potongan kalimat liryc lagu itu. Kemudian sampai saya kepada suatu perenungan yang dalam bahwa, ya…., memang benar dan mutlak benar bahwa untuk selamanya “ Allah tetaplah Allah” walau dalam keadaan dan kondisi terpuruk sehebat apapun yang mungkin kita sedang alami, yang dalam bahasa lagu itu mengatakan “walau dunia semua bergoncang”. Dan juga Dia tetap Allah walau kehidupan berada dalam tingkat “kenyamanan” yang paling tinggi sekalipun yang mungkin kita sedang jalani dan hidupi. Kehidupan berjalan serba “mulus”. Semua apa yang diperlukan terpenuhi semua, semua yang diinginkan selalu ada, sehingga serasa tak perlu Tuhan lagi.
Sepertinya ada sesuatu hal yang luar biasa, yang terkandung dibalik dari potongan kalimat liryc lagu itu. Kemudian sampai saya kepada suatu perenungan yang dalam bahwa, ya…., memang benar dan mutlak benar bahwa untuk selamanya “ Allah tetaplah Allah” walau dalam keadaan dan kondisi terpuruk sehebat apapun yang mungkin kita sedang alami, yang dalam bahasa lagu itu mengatakan “walau dunia semua bergoncang”. Dan juga Dia tetap Allah walau kehidupan berada dalam tingkat “kenyamanan” yang paling tinggi sekalipun yang mungkin kita sedang jalani dan hidupi. Kehidupan berjalan serba “mulus”. Semua apa yang diperlukan terpenuhi semua, semua yang diinginkan selalu ada, sehingga serasa tak perlu Tuhan lagi.
Dikesukaan yang tertinggi dan dikedukaan yang amat dalam
sekalipun, Allah haruslah tetap Allah dalam kehidupan kita dengan segala
otoritas-Nya, dan harus menempatkan Allah pada tempat-Nya, yaitu pada posisi
yang tertinggi dalam kehidupan ini, sebagai Allah dalam hidup kita yang berdaulat,
berkuasa, bertakhat sepenuhnya atas hidup kita. Sebagai Allah yang mengatur
seluruh area kehidupan kita. Tidak ada perkara dan area yang terlalu kecil untuk tidak kita
serahkan dalam kuasa dan kontrolnya Tuhan. Biarlah Kristus tetap meraja dalam
hati kita setiap saat dan bukan si “Aku”, sampai kepada titik puncak dimana
Rasul Paulus berkata “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam
daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi
aku dan menyerahkan diri-Nya
untuk aku” (Galatia
2:20).
Dalam perenungan yang dalam terhadap potongan liryc lagu itu,
segera saya diingatkan kembali terhadap sepotong kalimat pendek dari Dr. Bob
Bland, segera saja saya mengambil Alkitab dan membuka kembali tulisan lama yang
tertera dengan jelas dilembaran terdepan Alkitab saya “There is a God, and isn’t
me”. Barulah aku memahminya bahwa, dalam hidup ini dalam kondisi apapun hidup
yang sedang kita jalanani, sesekali saya, kamu, kita, tidak akan pernah jadi Tuhan, dan jangan mau
menjadi Tuhan atas diri sendiri, yang bisa mengatur seluruh kehidupan ini
sesuka hati kita, yang berbuat, berjalan, berpikir sesuai dengan apa yang kita
mau. Faktanya dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kali kita menempat
si ‘Aku” pada posisi yang tertinggi dari pada Allah ditempatkan pada tempat-Nya
sebagai Allah dalam hidup kita, yang seharusnya menempati posisi tertinggi
dalam hidup ini.
Sadar atau tidak sadar
bahwa seringkali kita menjalani kehidupan pribadi, keluarga, pelayanan, karir
kita , tidak lagi menuruti apa yang Tuhan mau, tapi terlebih kepada apa yang
kita mau. Termasuk dalam hal pengambilan keputusan dan pilihan-pilihan hidup
mulai dari yang terbesar sampai ke yang terkecil sekalipun, yang sering kali
kita buat dalam hidup ini, dan kebanyakan hasilnya berakhir kepada suatu kegagalan, penyesalan
yang mendalam karena mungkin telah jadi malapetaka
bagi diri kita sendiri. Sebab sehebat, sepintar dan sebijak apapun yang mungkin
kita pikir diri ini dalam memilih dan memutuskan suatu hal tanpa melibatkan
Tuhan, bertanya kepada Tuhan, mendengar dan menaati apa yang Tuhan rindukan
untuk kita lakukukan dan kerjakan, maka pasti saja hasilnya akan berujung
kepada “maut”. Raja salomo dalam kebijakannya pernah berkata bahwa “Ada jalan yang disangka lurus, tetapi
ujungnya menuju maut” (Amsal 16:25).
Sepintar-pintarnya, sehabat-hebatnya, sebijak-bijak kita sebagai manausai, tetap kita adalah manusia yang penuh dengan keterbatasan.
Sepintar-pintarnya, sehabat-hebatnya, sebijak-bijak kita sebagai manausai, tetap kita adalah manusia yang penuh dengan keterbatasan.
Suatu kali Eric Hovind menginterview seorang Ateis “injili”, yang
tidak percaya akan keberadaan Tuhan,
karena tidak bisa dibuktikan secara sciense, dengan bertanya “Berapa persen
yang mungkin kamu ketahui dan kamu anggap benar dari semua realita di dalam
dunia ini..?” langsung saja si Ateis dalam kejujurannya berkata bahwa mungkin
0,9 % atau 1 atau 2 % itupun kalau ada. Kemudia Eric mengajukan pertanyaan yang
kedua “adakah kemungkinan dari 99 % suatu realita yang tidak kamu ketahui itu
adalah kebenaran..?” Pasti jawabannya adalah mungkin bukan..?? namun si Atesi “kesulitan”
untuk memberikan jawaban sebab takut akhirnya terperangkap dalam sebuah
pengakuan bahwa sebenarnya pada kenyataanya Tuhan ada walau kita tidak bisa
buktikan keberadaannya secara kasad mata, walau kita tidak bisa buktikan secara
science karena keterbatasan kita sebagai manusia yang terbatas. Manusia adalah
manusia yang tidak akan pernah jadi Allah. Dan Allah tetaplah Allah untuk
selamanya.
Kita seringkali terperangkap dalam pola hidup yang “self-sentris”
yaitu, hidup yang berpusatkan pada diri sendiri. Jelas saja bahwa hal ini
adalah suatu dosa dihadapan Allah, itu adalah dosa kesombongan. Dosa
kesombongan berawal dari ketika kita mulai menilai diri kita lebih tinggi,
lebih hebat dari yang seharusnya. Tuhan pernah memperingatkan sekaligus
mengecam bangsa Edom Karena kesombongannya dengan berkata “Keangkuhan hatimu
telah memperdayakan engkau, ya engkau yang tinggal di liang-liang batu, di
tempat kediamanmu yang tinggi; engkau yang berkata dalam hatimu: "Siapakah
yang sanggup menurunkan aku ke bumi?" (Obaja 1:3).
Bangsa Edom terlalu tinggi menilai kehebatan dan kekuatannya dirinya, posisinya, pertahanan keamanannya, ekonominya, sekutunya, dan lain sebagainya lebih tinggi dari pada yang seharusnya. Hal itu bisa kita gambarkan ibarat “katak dalam tempurung”. Katak yang ada dalam tempurung, yang begitu kecil menurut pengamatan kita, tapi bagi si katak yang berada didalamnya berkata dalam hati “Akulah yang terhebat dari semunya, Akulah satu-satunya penguasa dan yang memilki dunia ini”. Demikianlah kita bisa gambarkan dan ibaratkan manusia yang seringkali menilai dirinya terlalu tinggi, setinggi langit.
Bangsa Edom terlalu tinggi menilai kehebatan dan kekuatannya dirinya, posisinya, pertahanan keamanannya, ekonominya, sekutunya, dan lain sebagainya lebih tinggi dari pada yang seharusnya. Hal itu bisa kita gambarkan ibarat “katak dalam tempurung”. Katak yang ada dalam tempurung, yang begitu kecil menurut pengamatan kita, tapi bagi si katak yang berada didalamnya berkata dalam hati “Akulah yang terhebat dari semunya, Akulah satu-satunya penguasa dan yang memilki dunia ini”. Demikianlah kita bisa gambarkan dan ibaratkan manusia yang seringkali menilai dirinya terlalu tinggi, setinggi langit.
Biarlah kita tidak “menggeser”
kedudukan Tuhan dalam kehidupan kita sebagai penguasa tunggal ,Raja, yang
berkusa, berdaulat penuh, mengatur seluruh aspek kehidupan kita, yang terkecil
sekalipun menurut pengamatan kita. Biarlah kita tidak menempatkan si “Aku”, menempati posisi yang seharusnya
untuk Allah, Allah akan tetap Allah no matter what…dan kita tidak akan pernah
bisa menjadi Allah bagi diri kita yang bisa mengatur semua aspek hidup ini
dengan benar dan bijak. Dengan memaksakan diri untuk menjadi “Allah” pada
akhrinya akan menemui kebinasaan.
Tempatkan Allah pada tempat-Nya sebagai Allah, Raja, yang mengatur, memimpin, menyertai setiap langkah dalam seluruh kehidupan ini, maka lihatlah betapa hebat kuasa-Nya akan berkerja dalam kehidupan kita, betapa hebat karya-Nya terukir indah di sepanjang jalan kehidupan yang kita lalu.Kita akan menyaksikan Betapa hebat setiap rencana-Nya , yang Dia pernah janjikan dalam kehidupan ini, semuanya terlaksana dan tergenapi. Kita akan berjalan dari kemenagan demi kemenangan, berjalan dalam kasih karunia demi kasih karunia dan berjalan dari kemuliaan demi kemuliaan, bagi kemuliaan nama-Nya.
Tempatkan Allah pada tempat-Nya sebagai Allah, Raja, yang mengatur, memimpin, menyertai setiap langkah dalam seluruh kehidupan ini, maka lihatlah betapa hebat kuasa-Nya akan berkerja dalam kehidupan kita, betapa hebat karya-Nya terukir indah di sepanjang jalan kehidupan yang kita lalu.Kita akan menyaksikan Betapa hebat setiap rencana-Nya , yang Dia pernah janjikan dalam kehidupan ini, semuanya terlaksana dan tergenapi. Kita akan berjalan dari kemenagan demi kemenangan, berjalan dalam kasih karunia demi kasih karunia dan berjalan dari kemuliaan demi kemuliaan, bagi kemuliaan nama-Nya.
Amin..
God Bless us :)
By: Hadiran Halawa, S.Th
Shalom saudara seiman dimana pun berada. Mari kita sama-sama belajar tentang Shema Yisrael yang pernah diucapkan oleh Yeshua ( nama Ibrani Yesus tertulis ישוע ) seperti yang dapat kita temukan dalam Markus 12 : 29 dan Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 sebagai berikut :
BalasHapusHuruf Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Pengucapannya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Orang Yahudi pada jaman Yeshua hingga sekarang terus memegang teguh prinsip keesaan Tuhan YHWH ( Adonai ) yang tersirat dalam kalimat Shema. Pada akhir pengucapan diikuti juga dengan kalimat berkat sebagai berikut :
" ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד " ( Barukh Shem, kevod malkuto le'olam va'ed, artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selamanya dan kekal )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🗺️✝️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🥛🍯🥖🍷🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱